Keberadaan manusia di muka telah melahirkan berbagai budaya dan peradaban. Dan setiap peradaban dan budaya memiliki nilai masing-masing. Dan demi menjaga nilai-nilai itu tetap ada dan berkelanjutan, maka manusia menterjemahkannya ke dalam simbol-simbol dan prilaku yang mentradisi. Salah satu budaya yang mentradisi yang hampir ada di setiap bangsa adalah tradisi perayaan terhadap sesuatu, baik itu pesta panen, kelahiran para pemimpin maupun perayaan terhadap kemenangan perang. Satu benang merah yang bisa ditarik dari berbagai perayaan itu adalah adanya semangat kemenangan dalam setiap perayaan.
Masyarakat Bali, sebagai salah satu suku dari bangsa Indonesia, tentu juga memiliki budaya perayaan yang sudah mentradisi. Salah satu yang terkenal dan masih berlangsung hingga kini adalah Perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Setiap orang Bali yang lahir di Bali, atau setidaknya masih memiliki darah Bali, pasti masih mengenal tradisi merayakan Hari Galungan dan Kuningan.
SEJARAH PERAYAAN HARI GALUNGAN
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertama kali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh masyarakat Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh warga memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh rakyat di Bali.
MAKNA PERAYAAN GALUNGAN DAN KUNINGAN
Hari Raya Galungan dirayakan setiap hari Rabu (Budha) Kliwon Dungulan. Sedangkan Hari Raya Kuningan jatuh pada hari Sabtu (Saniscara) Kliwon Kuningan. Atau juga dikenal dengan Tumpek Kuningan. Perayaan Galungan dan Kuningan secara sederhana diperkenalkan sebagai perayaan kemenangan Dharma (Kebenaran) melawan Adharma (Kebatilan). Kurang lebih seperti itulah yang diajarkan kepada para murid di sekolah serta diketahui oleh orang Bali pada umumnya. Dan perayaan Galungan dan Kuningan mengalami pengulangan setiap 210 hari sekali.
Namun sesungguhnya makna perayaan Galungan dan Kuningan tidaklah sesederhana itu. Ada makna lebih dalam yang tersembunyi dibalik seluruh ritual yang dilakukan. Dan kali ini penulis mencoba menyampaikan makna dari sisi dan sudut pandang yang berbeda. Tujuan penulis adalah untuk mengajak masyarakat Bali mengamati lebih jauh dan memberi pemaknaan yang lebih dalam terhadap warisan budaya luhur yang telah dilakukan dan dijaga bertahun-tahun.
Perayaan Galungan dan Kuningan bukanlah perayaan terhadap satu “Hari Besar”, melainkan merayakan terhadap suatu proses yang memakan waktu berhari-hari. Rentetan perayaan Galungan ini adalah sebagai berikut:
1. Tumpek Pengatag/Tumpek Pengarah, jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wariga.
2. Sugihan Jawa, jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang.
3. Sugihan Bali, jatuh pada hari Jumat Kliwon Sungsang.
4. Penyekeban, jatuh pada hari Minggu Paing Dungulan.
5. Penyajaan, jatuh pada hari Senin Pon Dungulan.
6. Penampahan Galungan, jatuh pada hari Selasa Wage Dungulan.
7. Hari Galungan.
8. Hari Kuningan.
Dalam tradisi perayaan di Bali sebenarnya ada lagi beberapa tambahan dalam prosesi perayaan seperti Umanis Galungan dan Hari Pamaridan Agung. Namun penulis mencoba menampilkan apa yang menjadi esensi dari perayaan Galungan. Untuk yang diluar itu akan dibahas dalam artikel yang berbeda.
MELIHAT GALUNGAN SEBAGAI PROSES PENYATUAN PURUSA DAN PRADANA (PAWIWAHAN)
Perwujudan tertinggi dari kesadaran adalah ketika terlampauinya dualitas, dimana dalam kesadaran semesta hanya ada satu bukan dua, tidak ada pengamat dan yang diamati, tidak ada purusa maupun pradana, tidak ada benar atau salah, melainkan kesadaran diri yang total menyatu dengan semesta. Makna yang tersembungi dari hari Galungan adalah mengajak seseorang untuk mencapai kesadaran tertinggi, kesadaran non dualitas, yang bisa dicapai ketika memahami proses terjadinya, yaitu melalui peleburan dualitas atau pernikahan dua aspek (Purusa dan Pradana). Atau bisa juga disebut Pawiwahan.
Untuk bisa memahami hari Galungan sebagai perayaan terhadap penyatuan (Pawiwahan) aspek Maskulin (Purusa) dan aspek Feminin (Pradana) menjadi satu, yang disebut Ardhanareswari (setengah laki-laki setengah perempuan), penulis akan mencoba menggambarkan dengan proses pernikahan yang terjadi di Bali.
TUMPEK PENGARAH/PENGATAG
Tahap awal proses pernikahan adalah dengan memanggil seluruh anggota keluarga (ngatag) untuk menyampaikan informasi dan urun pendapat bahwa ada salah satu keluarga akan meminang seorang wanita dan akan dipersatukan dalam pernikahan. Dalam hal ini, terjadi proses pemanggilan (atag) dialog, diskusi dan arahan-arahan dari para tetua dalam keluarga (pengarah). Dalam proses Galungan, hal ini terjadi ketika Tumpek Pengarah/Pengatag. Pada tahap ini, manusia bersepakat untuk menyambut proses Pawiwahan.
SUGIHAN JAWA
Orang Bali memaknainya sebagai memohon kesucian terhadap Bhuwana Agung (alam semesta). Sedangkan penulis melihat kata Jawa sama dengan Jaba, atau segala sesuatu yang berada di luar diri. Sesuatu di luar diri bisa berarti, rumah, halaman, kamar atau alam semesta.
Dalam tradisi pernikahan, setelah disepakati dan mendapat pengarahan dari tetua (Tumpek Pengarah), maka dilanjutkan dengan pembersihan dan penataan serta merias rumah, guna menyambut akan hadirnya mempelai wanita. Artinya, pada saat Sugihan Jawa, melakukan penyucian atau pembersihan segala sesuatu yang berada di luar diri (semesta).
SUGIHAN BALI
Orang Bali memaknai dengan melakukan penyucian Bhuwana Alit.
Dalam proses pernikahan, setelah melakukan pembersihan, penataan dan merias rumah serta lingkungan, dilanjutkan dengan melakukan pembersihan diri. Sugihan Bali (Bali = Bala = Dia yang memiliki kekuatan yang bersemayam di dalam diri), dimaknai dengan penyucian dan pembersihan diri. Mempersiapkan baik fisik maupun mental.
PENYEKEBAN
Berasal dari kata “sekeb” dalam bahasa Indonesia berarti disekam. Hari Penyekeban jatuh 3 hari sebelum Galungan. Dalam proses pawiwahan, Penyekeban adalah hari dimana dipinang dan diboyongnya mempelai wanita (Pradana) ke rumah mempelai laki-laki (Purusa), kemudian dilakukan proses penyekeban atau proses dimana mempelai wanita dipingit. Disini terjadi proses perubahan secara mental dari pihak wanita yang tadinya gadis menjadi wanita yang siap untuk dibuahi.
Orang Bali memaknai simbolik dengan Nyekeb atau menyekam buah-buahan atau membuat tape, agar tepat pada saat Galungan sudah matang dan siap untuk dimakan.
PENYAJAAN GALUNGAN
Dalam prosesi pawiwahan, pada hari ini dilakukan proses persiapan dan pembuatan saran upacara dan perlengkapannya. Pada hari ini, orang Bali secara simbolik melakukan persiapan membuat sarana upacara maupun jajanan pelengkap upacara.
PENAMPAHAN GALUNGAN
Ada dua hal penting yang mentradisi yang perlu dicermati dari Hari Penampahan Galungan yaitu, mendirikan penjor pada sore hari satu hari sebelumnya, kemudian memotong hewan/babi pada hari Penampahan Galungan.
MAKNA PENJOR.
Pada umumnya penjor diartikan sebagai perwujudan gunung. Gunung merupakan aspek maskulin (purusa). Aspek maskulin dari alam semesta disimbolkan dengan lingga. Sehingga penjor merupakan perwujudan dari lingga. Atau (maaf) dengan bahasa sedikit vulgar, penjor melambangkan kelamin laki-laki yang sedang tegak berdiri/ereksi. Yang siap melakukan penetrasi, bertemu dan bersatu dengan yoni, sang pradana. Bahkan sekilas secara anatomi pun tanpak jelas menggambarkan kelamin laki-laki.
Pada penjor sering terdapat ornamen berupa buah-buahan atau umbi-umbian. Ini sebagai simbol bahwa pihak purusa membawa benih kehidupan, kemudian pradana mewujudkan benih tersebut. Sebagaimana halnya spermatozoa yang membawa benih, kemudian diwujudkan setelah bertemu sel telur di dalam rahim.
Pada penjor sering terdapat ornamen berupa buah-buahan atau umbi-umbian. Ini sebagai simbol bahwa pihak purusa membawa benih kehidupan, kemudian pradana mewujudkan benih tersebut. Sebagaimana halnya spermatozoa yang membawa benih, kemudian diwujudkan setelah bertemu sel telur di dalam rahim.
MAKNA PENAMPAHAN
Sehari sebelum Galungan, sesudah mendirikan penjor, orang Bali biasanya memotong hewan untuk melengkapi sarana upacara dan sisanya untuk dikonsumsi sendiri. Hakekat dari hari penampahan terletak pada tumpahnya darah. Ketika lingga yang telah tegak berdiri (penjor) bertemu dengan yoni yang telah matang dan siap menanti, lalu terjadi proses penyatuan, saat inilah darah tertumpah (pada manusia robeknya selaput dara). Jadi pada penampahan, terjadi penyatuan lingga yoni di tatanan fisik. Setiap proses penciptaan adalah merupakan bersatunya aspek maskulin/purusa dengan aspek feminin/pradana. Dan setiap proses penyatuan yang suci akan diawali dengan robeknya selaput hymen (selaput dara) yang meneteskan darah. Pada saat penampahan merupakan simbol robeknya hymen/selaput dara sebelum proses penyatuan terjadi. Dan ritual penumpahan darah ke tanah selalu dilakukan orang Bali sebagai awal akan dilakukannya suatu upacara suci.
HARI GALUNGAN
Ketika proses penyatuan telah mencapai puncak/klimaks, saat itulah energi maskulin/sang purusa yang mewujud dalam bentuk spermatozoa, keluar, bergerak dan menyatu dengan energi feminin/sang pradana dalam bentuk sel telur (ovum). Di sinilah proses penciptaan terjadi. Ketika sperma bertemu dengan sel telur. Ketika kama petak menyatu dengan kama bang. Ketika lingga bersatu dengan yoni. Atau dalam bahasa spiritual disebutkan bersatunya Siwa sang purusa dengan Parwati sebagai pradana. Saat itulah dua yang menjadi satu mewujud menjadi Ongkara (OM) dalam bentuk Ardhanareswari. Hari Galungan merupakan titik dimana penciptaan terjadi. Saat inilah waktu mulai tercipta. Sama halnya dengan manusia, umur janin dihitung ketika zygote (janin) mulai terbentuk. Saat itulah dikatakan waktu tercipta, karena penghitungan umur janin dimulai.
Dari hari Galungan menuju hari Kuningan berjarak sepuluh hari. Ini melambangkan sepuluh tahapan dari Dasa Maha Widya (sepuluh pengetahuan utama) dari proses penciptaan. Sementara diantara sepuluh titik terdapat sembilan jeda/antara. Ini melambangkan sembilan bulan proses pertumbuhan janin di dalam rahim hingga hari kelahiran. Pada saat proses penciptaan berlangsung, digambarkan seluruh dewata-dewati turun ke dunia untuk menyaksikan dan memberi berkah. Menggambarkan seluruh energi, seluruh elemen, seluruh aspek alam semesta turut ambil bagian saat berlangsungnya penciptaan. Sementara sepuluh tahapan penciptaan, dalam Dasa Maha Widya dimanifestasikan menjadi wujud sepuluh dewi yaitu Kali, Tara, Tripura Sundari, Buana Iswari, Bhairawi, Chinnamasta, Dhumawati, Bhagalamuki, Matangi, Kamalatmika (akan dibahas pada artikel berbeda).
KUNINGAN/TUMPEK KUNINGAN
Setelah melalui sembilan jeda (sembilan proses), maka pada hari kesepuluh, tepatnya pada Kuningan, proses penciptaan mencapai puncaknya, dimana hasil dari ciptaan telah mewujud secara sempurna. Kuningan merupakan salah satu dari enam rerainan tumpek. Rerainan tumpek jatuh pada pertemuan Saniscara yang merupakan puncak dari Saptawara, dengan Kliwon yang merupakan puncak dari Pancawara. Masing-masing merupakan puncak siklus. Saptawara mewakili aspek pradana sementara Pancawara mewakili aspek purusa. Sehingga tumpek merupakan penyatuan dari purusa-pradana yang berwujud "OM" (Ongkara). (Ongkara dan Tumpek akan dibahas pada artikel terpisah).
Sementara Kuningan mewakili pertiwi yaitu sesuatu yang mewujud, yang konkrit atau materi. Tumpek Kuningan bisa dimaknai dengan OM (Ongkara) yang mengambil wujud dalam bentuk yang konkrit/materi (Pertiwi). Pada hari Kuningan ini proses penciptaan mencapai puncaknya dengan mewujudnya ciptaan tersebut (buana agung/buana alit) dalam materi (Pertiwi). Pada hari ini dewata-dewati, widyadara-widyadari menari bersuka-cita menyambut Dia Yang Agung mengambil wujud untuk kembali masuk dalam "permainanNYA". Dia yang disebut sebagai Lalita Tripura Sundari Kamalatmika Bhairawi (Dia yang bermain, yang menguasai tiga dunia).
KESIMPULAN
Makna Perayaan Galungan selain berarti kemenangan Dharma melawan Adharma, namun juga menyimpan pemahaman yang jauh lebih dalam. Agar manusia memahami bahwa kehidupan adalah sebuah siklus, tiada awal, tiada akhir. Dan dalam tradisi merayakan Galungan, tersembunyi ajaran yang sangat tinggi yang mampu membawa manusia ke kesadaran puncak yaitu ajaran Dasa Aksara dan Sapta Ongkara (dalam ajaran Tantra lebih dikenal dengan sebutan Dasa Maha Widya dan Sat Chakra Nirupana). Hanya saja, perlu melakukan penghayatan secara mendalam.
PENUTUP
Mungkin ada sedikit perbedaan dalam mengulas makna Galungan. Dalam hal ini penulis tidak bermaksud untuk mengacaukan pemahaman yang sudah ada melainkan mencoba memberi sudut pandang yang berbeda. Seluruh ajaran yang ada tersembunyi di balik simbol-simbol. Dan simbol-simbol tersebut haruslah diterjemahkan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jaman. (GS).