Kajeng Kliwon merupakan rerainan yang cukup mendapat perhatian khusus bagi orang Bali. Siklus rerainan Kajeng Kliwon datangnya setiap 15 hari sekali. Tepatnya merupakan pertemuan akhir dari siklus Triwara Kajeng dengan akhir dari siklus Pancawara Kliwon. Bagi orang Bali, Kajeng kliwon merupakan hari pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa, yang diyakini pada hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Rerainan Kajeng Kliwon dipercaya sebagai hari yang keramat. Pada hari Kajeng Kliwon orang Bali biasanya melakukan ritual yaitu menghaturkan segehan yang dihaturkan kepada manifestasi dari Sang Hyang Dhurga Dewi. Di tanah segehan dihaturkan kepada Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Dhurga Bucari. Kurang lebih seperti itulah pemahaman umum orang Bali mengenai rerainan Kajeng Kliwon.
Disamping itu, ada yang mengartikan bahwa saat
rerainan Kajeng Kliwon merupakan hari
pengharmonisan antar Buana Alit (mikrokosmos)
dengan Buana Agung (makrokosmos).
Terjadinya perbedaan pemaknaan ini karena ajaran leluhur orang Bali banyak
menggunakan simbol-simbol sehingga memberikan kebebasan dan keluasan dalam pemaknaan.
Dan dalam hal ini, saya pun mencoba untuk memberikan perluasan makna, namun
lebih pada konteks kekinian. Pemaknaan yang lebih bersifat aplikatif sehingga
ajaran leluhur yang begitu tinggi bisa dijadikan pegangan dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Membahas Kajeng
Kliwon tidak bisa lepas dari Wewaran.
Penulis lebih melihat Kajeng Kliwon sebagai
sebuah momentum, maka tentu ada
proses yang berlangsung sebelum momentum itu terjadi. Artinya, ada proses yang
berlangsung sampai akhirnya ujung dari siklus Triwara dan ujung dari siklus Pancawara
jatuh pada hari yang sama. Untuk mendapatkan makna dari momentum tersebut, akan
dibahas mulai dari Ekawara.
Ekawara – Luang
Luang berarti kosong, bisa
juga diartikan sebagai pengamatan obyektif. Dari hasil pengamatan yang obyektif akan
menghasilkan sesuatu yang menjadi titik fokus.
Titik focus inilah kemudian disebut sebagai kekosongan. Kekosongan ini bukanlah
ketiadaan materi, melainkan sebagai hasil dari kondisi obyektif dalam melihat
sesuatu. Dari kondisi obyektif inilah bisa melihat keberadaan dari peluang atau
kesempatan. Dalam kehidupan sehari-hari, jika cukup obyektif dalam mengamati
lingkungan disekeliling, maka akan bisa melihat hal-hal yang belum ada. Dari
hal-hal yang belum ada inilah nantinya bisa menjadi titik fokus yang
menghasilkan peluang. Peluang yang luput dari pengamatan orang-orang pada
umumnya.
Contohnya, jika seseorang secara obyektif mengamati
lingkungan disekelilingnya, akan tampak hal-hal yang belum ada (kosong).
Misalkan kemudian tampak tidak ada bengkel mobil. Maka muncullah peluang untuk
membuka usaha bengkel mobil. Demikian juga dengan peluang-peluang lain yang
ada. Setelah peluang (Ekawara)
dilihat, maka langkah berikutnya adalah mengkaji peluang-peluang tersebut
dengan cara maju ke Dwiwara.
Dwiwara – Menge, Pepet
Menge bisa diartikan terbuka. Pepet bisa diartikan
tertutup.
Dari peluang yang ada, mana peluang yang dalam
kondisi Menge (terbuka), mana yang
dalam kondisi Pepet (tertutup).
Kondisi Menge sendiri terjadi jika
syarat-syarat terbentuknya sebuah bisnis semuanya terpenuhi. Baik dari segi
adanya kebutuhan masyarakat yang akan membentuk market, kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat (skill)
dengan aspek managerialnya maupun dari segi permodalan. Dalam kondisi ini tentu
investasi bisa segera dilakukan. Lalu bagaimana dengan kondisi Pepet?
Dalam kerangka berpikir positif, pepet bukan berarti tertutup, melainkan
kecilnya peluang. Hal ini bisa disebabkan karena ada aspek penunjang yang tidak
terpenuhi. Karena, sekecil apapun sebuah peluang tetaplah sebuah peluang. Dalam
kondisi ini tentu memerlukan pengkajian yang lebih panjang. Proses pengkajian
dijabarkan dalam Triwara.
Triwara – Pasah, Beteng, Kajeng
Ada yang mengartikan Pasah dengan langit. Pada saat Pasah, dinyatakan tidak boleh melakukan aktifitas, karena para Dewa sedang beryoga. Hal ini bisa diartikan sebagai diam sesaat untuk
melakukan pengamatan dan analisa. Melakukan studi kelayakan dari bisnis
tersebut. Baik berupa proyeksi angka-angka diatas kertas maupun analisa
marketing.
Setelah studi kelayakan dilakukan, dan sebuah
peluang dinyatakan layak dan bisa mendatangkan keuntungan serta diperoleh
sebuah proyeksi yang jelas, maka selanjutnya sampai pada tahap beteng. Pada saat tahap beteng, mulai melakukan pemetaan dan
rencana kerja untuk merealisasikan peluang bisnis tersebut.
Setelah seluruh rencana-rencana dan pemetaan
dibuat dengan matang, tibalah saatnya pada posisi Kajeng. Kajeng sendiri
berarti sesuatu yg membumi. Tindakan adalah sesuatu yang membumi. Artinya,
setelah proses Pasah dan Beteng (analisa dan
pemetaan/perencanaan) dilewati, tibalah saat untuk merealisasikan dengan mulai
mengambil tindakan (Kajeng).
Triwara adalah proses yang akan terus
berulang. Dalam perjalanan dibangunnya sebuah bisnis, tentu akan muncul
hambatan-hambatan, maka pada saat seperti ini, proses Pasah-Beteng-Kajeng akan dilakukan dalam skalanya sendiri. Jika
langkah yang diambil selalu mengikuti pola Pasah-Beteng-Kajeng,
maka keberhasilan sebuah bisnis akan menjadi sebuah keniscayaan, yaitu berupa
Caturwara.
Caturwara – Sri, Laba, Jaya, Mandala
Sri – Sri
bisa diartikan kemasyuran. Dengan strategi marketing yang tepat, maka
pencapaian pertama adalah Sri, yaitu produk yang dibuat mulai dikenal oleh
masyarakat.
Laba – Setelah
produk dikenal, maka mulailah keuntungan berupa materi (Laba) diperoleh.
Jaya – Jaya
berarti kekuasaan. Setelah produk yang dibuat dikenal di masyarakat dan
keuntungan materi dicapai, maka langkah-langkah inovasi perlu dilakukan dengan
mempertahankan konsep Pasah-Beteng-Kajeng, maka pangsa pasar pun dikuasai
(Jaya).
Mandala – Setelah
pangsa pasar dikuasai, maka mulai melakukan segmentasi pasar, sehingga
terbentuklah segmen pasar (Mandala). Dalam tahap ini sudah terbentuk komunitas penggemar yang fanatik yang menjadi pangsa pasar tersendiri (Mandala).
Setelah mandala terbentuk, dengan konsep Pasah-Beteng-Kajeng, diharapkan mandala
ini akan semakin besar, semakin luas dan semakin kokoh. Pada kondisi ini,
seorang pebisnis telah mampu mensejahterakan orang-orang atau masyarakat yang
berhubungan dengan bisnisnya. Namun itu tentulah sifatnya terbatas, hanya dikalangan
internal saja. Ini adalah saat dimana sang pebisnis mempunyai kesadaran untuk
berbagi kepada masyarakat yang lebih luas. Pada tahap ini, bisnis yang dibangun
mulai bisa dilepas ke publik dengan menjual sahamnya ke masyarakat. Sang
pebisnis pun bisa melepaskan pengelolaan bisnis kepada sebuah manajemen dan
tidak lagi terlibat dalam bisnisnya karena akan melangkah ke Pancawara.
Pancawara
Pancawara merupakan ranah politik. Untuk mampu
melakukan pemerataan kesempatan dan kesejahteraan, perlu ada
kebijakan-kebijakan yang mendukungnya. Dan wewenang membuat kebijakan ada di
ranah politik. Sehingga Panca Wara akan lebih banyak membahas pergerakan
seseorang diranah politik. Pancawara bisa dilihat dari konsep Panca Maha Bhuta
atau lima unsur utama.
Umanis – Pada
Panca Maha Bhuta, padanan umanis adalah Akasa,
yang berarti ruang. Bisa diambil pemaknaan bahwa pada posisi Umanis,
seseorang memulai gerakannya
dengan mulai mencari wadah yang mendukung gerakannya. Karena ini adalah ranah
politik, maka wadah yang diperlukan pun adalah wadah politik, baik itu
organisasi masa ataupun organisasi politik.
Pahing – Padanan Pahing pada Panca Maha Bhuta adalah
Bayu. Bayu sendiri sering diartikan sebagai angin atau atmosfir, atau sesuatu yang
menaungi. Yang menaungi sebuah negara atau perusahaan adalah sistem. Karena, atmosfir
sebuah perusahaan atau Negara, sangat dipengaruhi oleh sistem yang diterapkan.
Karena Panca Wara adalah ranah politik, pada
posisi pahing ini bagaimana seseorang berupaya masuk kedalam sistem di sebuah organisasi. Ini penting karena hanya dengan berada di dalam sistemlah seseorang mampu menggerakkan sistem.
Pon – Padanan Pon pada Panca
Maha Bhuta adalah Teja. Teja sendiri berarti sinar atau cahaya atau api. Bisa juga diartikan
kecerdasan. Pada tahap ini, bagaimana seseorang yang telah berada dalam sistem lalu menggerakan
organisasi yang ada, mulai berekspresi. Mulai menyuarakan visi dan misinya
kedepan jika organisasi yang dipimpinnya bersedia mengusungnya jadi pemimpin
wilayah. Tahap ini umumnya disebut tahap kampanye politik.
Wage – Padanannya pada Panca Maha
Bhuta adalah Apah. Apah sendiri adalah sesuatu yang fleksibel dan mengalir serta meresap.
Sering diartikan air. Salah satu keistimewaan air adalah memiliki daya rekat
yang kuat. Misalkan, pasir yang kering akan mudah terberai ditiup angin. Namun
jika disirami air, maka pasir itu akan merekat dan menggumpal membentuk suatu
wujud.
Pada tahap ini, seseorang mulai melakukan
konsolidasi. Mulai melakukan pembenahan-penbenahan di dalam organisasinya
sehingga membentuk suatu wujud yang solid. Seluruh elemen organisasi dan massa pendukung mulai
merapatkan barisan.
Kliwon – Padanannya pada Panca Maha Bhuta adalah
Pertiwi. Kliwon sendiri artinya hitam. Melambangkan materi. Pertiwi adalah sesuatu yang mewujud dan konkrit. Yang membawa semua unsur. Energi yang telah mewujud secara konkrit
Pada tahap kliwon, organisasi dan dukungan massa dalam kondisi
yang sudah sangat siap. Seluruh elemen siap menunggu perintah untuk bergerak.
Kekuatan dukungan sudah mewujud ecara konkrit.
Jika langkah Tri Wara tetap secara konsisten
dijaga dan dilaksanakan, maka kekuatan yang sudah mewujud (pada posisi Kliwon),
memasuki langkah Kajeng, sehingga bertemulah Kajeng dengan Kliwon. Maka ini
akan menjadi suatu gerakan dengan perhitungan yang matang dan didukung dengan
kekuatan penuh. Ini adalah momentum yang ditunggu. Tidak akan ada yang mampu
membendung gerakan ini. Itulah sebabnya Kajeng Kliwon menjadi begitu tenget
bagi orang Bali.
Jadi dalam hal ini penulis lebih mengartikan
Kajeng Kliwon sebagai suatu momentum yang tepat untuk melakukan sebuah tindakan
atau gerakan, yang mana gerakan itu sudah melalui proses perhitungan yang
matang. Dalam pemahaman tradisional, saat Kajeng Kliwon dikatakan para penekun
ajaran tertentu bisa merubah wujud (nadi) menjadi Rangda. Dalam hal berubah,
penulis sepakat. Namun penulis tidak ingin terjebak dalam kerangka berpikir
mistis. Rangda hanyalah metaphora. Penulis berpendapat bahwa jika seseorang
benar-benar melangkah seperti apa yang diuraikan diatas, maka yang terjadi
adalah perubahan dalam tatanan mental, bukan phisik. Dan penjelasan soal Rangda
akan dijabarkan dalam artikel yang berbeda. (GS)