Natah Merajan, natah rumah dan lebuh, bisa dimaknai sebagai tiga aspek dalam diri manusia. Natah Merajan menggambarkan kepala, sebagai simbol dari nalar manusia atau dalam bahasa Bali pepetekan/pepineh. Sedangkan natah rumah menggambarkan rongga dada sebagai simbol perasaan/emosi. Dalam bahasa Bali - pengerasa. Sedangkan lebuh menggambarkan rongga perut yang mewakili aspek instingtif/naluriah manusia. Dalam bahasa Bali - kleteg bayu.
Dewasa ini banyak para pembicara maupun pelaku bisnis yang berbicara tentang bisnis yang berbasis spiritual. Ternyata apa yang mereka praktekan bersumber dari ajaran spiritual warisan leluhur atau pendahulunya. Mereka melakukan pendalaman dan perluasan makna sehingga bisa menjadi ajaran yang sangat aplikatif terutama dalam menjalani kehidupan dan bisnis.
Bagi orang Bali, Kajeng Kliwon termasuk dalam rerainan jagat. Kajeng Kliwon merupakan pertemuan akhir dari siklus Triwara dan akhir dari siklus Pancawara. Sehingga siklus Kajeng Kliwon jatuh setiap lima belas hari sekali. Kajeng Kliwon merupakan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa. Pada hari ini diyakini Sang Hyang Siwa bersemadi. Dilakukan sebuah ritual menghaturkan Banten Segehan atau Banten Blabaran. Banten segehan di natah Merajan di tujukan kepada Bhuta Bucari. Segehan di natah rumah di tujukan kepada Kala Bucari sedangkan di lebuh dihaturkan kepada Durga Bucari. Demikianlah sejauh yang dilaksanakan dan dipahami pada umumnya oleh masyarakat. Namun saya mencoba memberi perluasan makna dalam konteks kekinian.
Natah Merajan, natah rumah dan lebuh, bisa dimaknai sebagai tiga aspek dalam diri manusia. Natah Merajan menggambarkan kepala, sebagai simbol dari nalar manusia atau dalam bahasa Bali pepetekan/pepineh. Sedangkan natah rumah menggambarkan rongga dada sebagai simbol perasaan/emosi. Dalam bahasa Bali - pengerasa. Sedangkan lebuh menggambarkan rongga perut yang mewakili aspek instingtif/naluriah manusia. Dalam bahasa Bali - kleteg bayu.
Dalam konteks ber organisasi, ketundukan dan sujud kepada Dewa Siwa menggambarkan ketundukan setiap anggota dari organisasi terhadap visi dan misi yang ditetapkan bersama. Bagaimana setiap anggota mampu meredam kepentingan, ego maupun nafsunya masing-masing. Dalam hal inilah perlu dilakukan ritual mesegeh. Ritual mesegeh itu sendiri ditujukan untuk nyomya Bhuta Kala agar tidak mengganggu. Bhuta, Kala dan Durga menggambarkan pepetekan atau perhitungan, pengerasa atau emosi dan kleteg bayu atau aspek tubuh yang membawa hawa nafsu.
Menghaturkan segehan di natah Merajan ditujukan untuk nyomya Bhuta Bucari agar tidak mengganggu. Natah Merajan seperti dijelaskan, bisa dimaknai sebagai rongga kepala yang memberi kemampuan berhitung (pepetekan). Setiap manusia dalam melangkah tentu memiliki perhitungan sendiri-sendiri. Pepetekan atau perhitungan ini membuat manusia melihat untung rugi yang akan diperoleh dari setiap langkah yang akan diambil. Penilaian untung rugi ini diambil berdasarkan perhitungan subyektif sejauh mana kepentingan pribadinya terakomodasi dari langkah yang diambil. Ini akan mewujud menjadi kepentingan individu.
Dalam organisasi, kepentingan setiap orang dinaungi oleh kepentingan organisasi. Setiap langkah yang diambil pun akan berada dalam koridor kepentingan bersama. Dan seyogyanya tidak boleh satu individu memaksakan kepentingan pribadinya ke dalam gerakan organisasi. Kepentingan pribadi yang didasari oleh perhitungan keuntungan pribadi semata. Karena kepentingan masing-masing individu sudah terakomodasi dalam visi dan misi dari organisasi. Kepentingan-kepentingan pribadi yang muncul kemudian inilah yang perlu dinetralisir (di-somya) dengan menghaturkan segehan di natah Merajan. Dengan kata lain, agar terjadi keselarasan antar perhitungan individu dengan perhitungan bersama.
Lalu mesegeh di natah rumah, ditujukan kepada Kala Bucari. Natah rumah merupakan gambaran dari rongga dada yang memberi emosi atau “pengerasa” pada manusia. Bisa dimaknai dengan mengendalikan gejolak emosi dalam menjalankan kepentingan bersama. Bisa juga dimaknai dengan menghilangkan ikatan emosional yang ada saat menjalankan tugas dari organisasi. Sebagai contoh, seorang Hakim yang menjalankan tugas negara harus bisa melepas ikatan emosionalnya ketika harus mengadili saudaranya sendiri. Ikatan emosional dan gejolak emosi inilah yang di-somya di natah rumah.
Yang ketiga adalah menghaturkan segehan di lebuh (gerbang rumah) kehadapan Durga Bucari. Durga Bucari sendiri merupakan aspek Pradana atau aspek tubuh/raga. Tubuh secara naluriah membawa seluruh aspek binatangnya yang mewujud menjadi hawa nafsu. Segehan di lebuh ditujukan untuk nyomya hawa nafsu yang dibawa oleh tubuh.
Dalam organisasi, selain harus meredam kepentingan pribadi, ikatan emosi, juga harus meredam ambisi-ambisi pribadi yang dapat merusak tatanan organisasi. Ambisi-ambisi yang merupakan wujud dari nafsu dan keinginan untuk berkuasa ini diredam dengan menghaturkan segehan di lebuh.
Morat-maritnya negara kita, bisa jadi karena para pejabat negara tidak memahami konsep dasar dari mesegeh ini. Korupsi meraja lela karena tidak dihaturkannya segehan kepada Bhuta Bucari. Yang membuat setiap orang berjalan atas dasar keuntungan dan kepentingan pribadi. Hakim-hakim tidak obyektif dalam mengambil putusan karena Kala Bucari belum di-somya. Demikian juga para poltisi yang lebih banyak mengedepankan kepentingan kelompoknya demi ambisi mereka dalam meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.
Kajeng Kliwon sendiri merupakan sebuah momentum untuk bertindak. Namun agar tindakan yang dilakukan menjadi terarah dan memberi hasil yang maksimal, perlu dihaturkan banten segehan. Demikian juga halnya dalam organisasi. Saat organisasi siap melakukan gerakan, ketiga aspek dari setiap individu harus dinetralisir, sehingga setiap anggota hanya akan bergerak dalam koridor kepentingan bersama.
Artikel ini pernah dimuat pada tabloid Kharisma Madani Edisi 2/Februari